Welcome home....

Assalamualaikum wr.wb
Rekan-rekan pembaca..selamat menikmati suguhan yang insyaallah bermanfaat dunia wal akherat...

"Pembaca yang baik meninggalkan komentar-komentar yang bermutu."

Sabtu, 28 Agustus 2010

secercah harapan bagi ISMAFARSI


Assalamualaikum  warrohmatullahi wabarokatuh
Gimana neh kabar rekan-rekan pembaca hari ini? Penulis ingin menyapa rekan-rekan dengan sebuah doa semoga kesempatan, kesehatan, dan waktu yang dikaruniakan kepada rekan-rekan oleh Allah subhanawataalla benar-benar mampu digunakan unutk meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah subhanawataala.
Abdullah bin abbaz, semoga Allah merahmati beliau, seorang sahabat yang diakui oleh nabi shalallahu ‘alaihiwassalam sebagai seorang ahli tafsir, mengatakan bahwa apabila Allah subhanawata’ala berfirman dengan menggunakan kalimat/kata “Yaa ayuhallazi na aamanu” maka pasanglah telingga kalian, karena setelah kata tersebut akan diikuti dengan perintah dan larangan Allah subhanawata’ala. Risalah ini hendaknya kita praktekan pada aktivitas tilawah Qur’an kita, sehingga semakin bertambah ilmu kita untuk menjadi orang-orang yang bertakwa. Nah, semoga risallah singkat ini bermanfaat bagi rekan-rekan sekalian.
Rekan-rekan ku, sebelum kita berdiskusi kali ini, izinkan penulis menuntun pembaca pada sebuah pernyataan berikut ini.
bukanlah seberapa besar impian kita, namun seberapa besar kita untuk impian tersebut”
Kalimat di atas singkat, ada kesan hanya dibolak-balik kata-katanya, tetapi sesungguhnya kalimat tersebut syarat akan makna dan meningkatkan semangat kita. Nah, mari kita pekikkan kalimat-kalimat pembangkit semangat !!!
Nuwun sembah sewu nggih klo preambule-nya kepanjangan. Mumpung masih pagi biar semangat.
Menilik kembali tulisan yang berjudul “Coret-coret kondisi pendidikan pra apoteker (point 1)”, kita bisa mendapatkan gambaran bahwa faktor eksternal berupa peran serta 2 organisasi IAI dan APTFI diharapkan mampu memberikan angin segar bagi kemajuan pendidikan pra apoteker. Nah, bagaimana tentunya dengan faktor internal yang ada?
Ada sebuah pepatah yang nampaknya tepat sebagai awalan pembahasan point 2 dalam “Coret-coret kondisi pendidikan pra apoteker”, yakni.
Jauh panggang dari api”
Pepatah tersebut bila kita artikan secara bebas yakni jauh harapan dari kenyataan atau bisa kita katakan jauhnya usaha yang dilakukan dari cita-cita yang diinginkan. Nah, coba kita integrasiakan pepatah tersebut pada kondisi internal yang akan kita bahas yakni organisasi internal mahasiswa farmasi.
Bila kita berbicara tentang organisasi mahasiswa, maka terlebih dahulu kita membuat definisi “organisasi apa yang dimaksud” karena, realita sekarang sangat banyak organisasi yang tumbuh, hidup, mati suri dengan berbagai ideology, cita-cita, dan arah gerak di tengah-tengah mahasiswa. Pembatasan dalam tulisan ini adalah ISMAFARSI. Pernyataannya yang akan menyertai hal tersebut adalah “mengapa harus ISMAFARSI?”
ISMAFARSI secara bahasa merupakan singkatan dari Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Seluruh Indonesia, sedangkan klo secara istilah ternyata baik di AD/ART atau GBHO-nya gak ada tuh. Tapi yang penting kita tau kepanjangannya dulu deh. Nah, sejarah ISMAFARSI ternyata dah dimulai sejak tahun 1981 berdasarkan hasil musyawarah MAFARSI V di Bukittinggi, bahkan organisasi ini merupakan kelanjutan dari MAFARSI yang dilahirkan pada tahun 1955. Yup beda tipis 10 tahun ma umur Negara Indonesia. Oleh karena itu, sudah sepatutnya lah kedewasaan ISMAFARSI tubuh sejalan dengan bertambahnya umur ISMAFARSI.
ISMAFARSI sudah sepatutnya menjadi organisasi “centre” dalam organisasi kemahasiswaan  di dalam ruang lingkup mahasiswa farmasi, karena organisasi ini merupakan induk dan perwujudan dari seluruh elemen mahasiswa farmasi.  Sudah selayaknya, setiap organisasi yang ingin tumbuh dan berkembang di lingkungan mahasiswa farmasi meng”induk” pada organisasi ini. Hal ini perlu dipahami bukan sebagai pembatasan, tetapi sebagai bentuk penjagaan bagi keselarasan setiap organisasi yang ada dan ingin memberikan warna di tengah-tengah komunitas PARA CALON APOTEKER. Namun, pertanyaannya adalah
“apakah ISMAFARSI mampu berperan sebagai induk organisasi mahasiswa farmasi?”
ISMA merupakan induk organisasi mahasiswa farmasi karena (1) beranggotakan lembaga mahasiswa farmasi dan memiliki perwakilan hampir di seluruh perguruan tinggi farmasi di Indonesia bahkan hingga 50an perguruan tinggi/institusi pendidikan, (2) memiliki visi secara menyeluruh terhadap mahasiswa farmasi. Pada pembahasan selanjutnya penulis akan coba menitikberatkan pada point ke-2.
Penulis mencoba merujuk pada konstitusi yang dimiliki ISMAFARSI dalam pembahasan point ini yakni AD/ART dan GBHO. Di dalam AD/ART disebutkan bahwa tujuan organisasi ini adalah ikut serta aktif mewujudkan mahasiswa farmasi yang bertanggung jawab, sadar dan mampu dalam menjunjung tinggi norma dan etika profesi farmasi yang kemudian dicoba untuk diturunkan dalam GBHO dengan lafal, terwujudnya mahasiswa yang berperan aktif dalam bidang kefarmasian di masyarakat. Visi dan tujuan organisasi ini ternyata telah terlihat jelas bahwa dengan sungguh-sungguh dan kemampuan yang optimal, organisasi ini mutlak harus mewujudkan kondisi masyarakat “mahasiswa farmasi” yang paham betul bagaimana posisi mereka kelak sebagai APOTEKER. Hal ini mengandung makna bahwa ISMAFARSI harus ambil bagian dalam profession character buiding. Oleh karena itu, perlu adanya usaha-usaha strategis yang dilakukan oleh organisasi terhadap mahasiswa.
Kembali mengacu pada AD/ART ISMAFARSI dimana disebutkan ada 6 usaha pokok dalam upaya mewujudkan visi/tujuan ISMAFARSI. Rekan-rekan pembaca bisa mengakses ke enam misi tersebut dalam AD/ART yang bisa di download di website ISMAFARSI yakni www.ismafarsi.org.
Nah, dari 6 usaha pokok tersebut dapat kita lihat bahwa terdapat 5 usaha pokok dengan sasaran mahasiswa. Namun, apakah kelima misi tersebut telah mampu dipahami oleh ISMAFARSI?

Jadi sebenarnya, Program apakah yang ditawarkan oleh ISMAFARSI kepada mahasiswa seluruh Indonesia? Bagaimana peran ISMAFARSI sebagai organisasi induk mahasiswa farmasi? Berulang…berulang kembali dengan pertanyaan serupa. Oleh karena itu, sebagai induk organisasi mahasiswa farmasi, sudah sepatutnya ISMAFARSI berbuat untuk memajukan mahasiswa melalui profession character building. Bagaimana caranya? (temukan jawabannya dalam REKONSTRUKSI MAHASISWA FARMASI part 3)

Read More......

Kamis, 26 Agustus 2010

Misi kemanusiaan Gaza "kemanakah apoteker berada?"

Assalamualaikum warrohmatullahi wabarokatuh
Rekan-rekan ku yang insyaallah senantiasa dilimpahkan rahmat oleh Allah subhanawataala.

Mungkin udah gak asing lg di telinga dan mata rekan-rekan pembaca terhadap sosok dr. Joserizal. Beliau bisa dikatakan orang no 1 di Indonesia yang konsen banget buat kegiatan kemanusiaan khususnya di bidang kesehatan baik di dalam negeri maupun di luar negeri terlebih khusus lg pada misi-misi kemanusiaan "akbar" di daerah konflik seperti Gaza, Irak, dan Afghanistan. Beliau bersama tim dokter lainnya di bawah payung organisasi MER-C (www.mer-c.org) selalu siap sedia bergerak untuk turun tangan secara langsung menangani korban-korban di berbagai daerah konflik. Selain itu, beliau telah menggandeng beberapa organisasi kesehatan lainnya, sebut saja hilal ahmar. Bahkan, dibandingkan dengan SBY, nama beliau jauh lebih dikenal di GAZA pada khususnya. Namun, tentunya tulisan ini bukan mau mengupas habis gerakkan perjuangan beliau, tp mencoba mengambil pelajaran dari pengalaman-pengalaman beliau.

Berbicara masalah GAZA, dibeberapa seminar ilmiah menyebutkan bahwa GAZA ini bukanlah konflik internal perebutan kekuasaan antara HAMAS dan FATAH, tetapi bila kita cermati konflik ini lebih pada penjajahan yang dilakukan kaum zionis kepada negara islam. Bisa kita cermati dari berbagai media cetak maupun elektronik (misalnya: di www.arrahmah.com) bagaimana kekejaman kaum yahudi Israel terhadap bangsa muslim yang secara jelas Israel ditunggangi oleh Amerika. Berbagai aksi penyimpangan Hak asasi manusia, yang biasanya Amerika paling kenceng teriak klo ada penyimpangan hak asasi ini, terjadi begitu saja tanpa ada upaya dari negara-negara atau bahkan PBB, yang katanya lokomotif perdamaian, untuk menghentikan aksi-aksi brutal dari kekejaman ini. Sudah menjadi sunatullah-nya akan timbul korban jiwa yang tidak hanya 1 bahkan ribuan dan jutaan yang tentunya banyak dari pihak muslim.

"Semoga Allah azzawajalla membeli jiwa mereka dengan surga. amin"

Namun, tulisan ini pun bukan untuk mengupas habis apa yang terjadi di GAZA dan blokade yang semakin ketat atau pun berbagai aksi penindasan terhadap umat ISLAM.
Bila kita perhatikan lebih cermat lagi, bagaimana sumbangsih negara kita bagi GAZA dan palestina yang sudah jelas sedang dalam kondisi terjajah? Bukankah telah tertuang secara jelas dalam konstitusi kita (klo emang katanya pemerintah paling taat dengan konstitusi) bahwa dalam preambule UUD 1945,
"....penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan..."
 sehingga jatuh hukumnya wajib bagi pemerintah indonesia untuk mengerahkan segala upaya untuk membantu mewujudkan kestabilan perdamaian di palestina dan negara-negara yang masih dijajah oleh Amerika. Apalagi, yang katanya Indonesia merupakan negara terbesar kedua umat Islamnya. Namun, Apakah yang udah diperbuat oleh pemerintah Indonesia? Sungguh ironis yang ada malah Polisi malah sibuk menangkap ustadz (baca: Ustadz Abu Bakar Ba'asyir) yang sedang ceramah menjelang ramadhan dan itu pun merupakan suatu tindakan penangkapan pesanan Amerika. Sungguh ironis negeri ini.

Namun, dalam tulisan ini pun tidak berusaha lebih jauh membongkar betapa bobroknya negeri ini, betapa rusaknya sistem di negeri ini.

Kita sebaliknya bisa cukup berlapang dada karena di tengah rusaknya sistem di negeri kita, ada beberapa gelintir putra-putri Indonesia yang bisa berbuat secara nyata mendobrak kusutan-kusutan sistem kita untuk mengulurkan tangan bagi para korban di Gaza khususnya. Bahkan, dengan sedikit rasa bangga bercampur rasa syukur, Indonesia insyaallah akan berhasil mendirikan Rumah Sakit di Gaza sebagai bentuk konsistensi bangsa ini terhadap sesama saudara muslim.

"bukankah antara sesama muslim itu satu tubuh, bila ada bagian yang sakit atau terluka maka bagian yang lainnya akan merasakan sakit juga"

Penulis mau tidak mau mengacungkan jempol kepada Tim MER-C yang mampu bergerak walaupun dengan resiko harus mati sekalipun. Seperti yang dikutip pada salah satu seminar ilmiah tentang Gaza, beliau dr Joserizal mengatakan bahwa resiko kami (baca:MER-C) di Gaza adalah mati, tetapi kami yakin balasan dari Allah azzawajalla jauh lebih nikmat dari kenikmatan apapun di dunia ini.

Namun, sekali sayang seribu sayang ditengah derasnya semangat tim relawan MER-C tersebut, tetapi tak satu pun APOTEKER berada pada barisan relawan tersebut. Padahal jelas kesehatan adalah ranah praktek kefarmasian. Mengapa tidak? MER-C membawa obat-obatan dalam jumlah banyak tanpa didampingi oleh apoteker seorang pun. pertanyaannya adalah,

"KEMANAKAH PARA APOTEKER BERADA"

Read More......

Rabu, 25 Agustus 2010

Berbagai kasus kesehatan di tanah air ku

Assalamualaikum
semoga rekan-rekan pembaca diberi perlindungan oleh Allah subhanawataa'ala dan diberi kesehatan yang merupakan nikmat yang sering kita lupakan, dimana nikmat yang satu ini menjad harga mahal di tanah air ini. Sungguh kondisi yang ironis dan mengenaskan.

Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam bersabda

"sesungguhnya ada 2 nikmat yang manusia dalam kondisi rugi (tidak bisa memanfaatkan) yakni nikmat sehat dan waktu luang"

semoga kita digolongkan oleh Allah azzawajalla ke dalam golongan orang yang mampu bersyukur atas kedua nikmat tersebut yakni dengan menjaganya dan mengoptimalkan untuk memperbanyak beribadah kepada Allah subhanawata'ala.

Berikut ini merupakan rekaman beberapa kondisi yang sempat menyeruak dibeberapa media masa.

silahkan rekan-rekan pembaca memberikan ulasan...!!

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1984/06/30/KSH/mbm.19840630.KSH40896.id.html

http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2010/08/23/ratusan-dokter-demo-dpr-desak-ukdi-dihapus

Read More......

Coret-coret kondisi pendidikan pra apoteker (point 1)


Assalamualaikum warrohmatullahi wabarokatuh
_-_mulai coret-coret lg ah di blog ni.. kasian dah lama gak dicoret_-_

Nah, tulisan ni sebenarnya sebuah kegerahan dari diri sendiri melihat kondisi real dari beberapa peran apoteker yang terlupakan.

Kita coba sedikit meng-korek-korek pendidikan farmasi di Indonesia yuk..

Kira-kira gini niy...

Ada beberapa point penting yang mungkin bisa jadi koreksi kita bersama:

  1. Ternyata mainset antara APTFI dan IAI masih belum berada pada titik temu. Analoginya gini nih.. Layaknya Rel kereta api.. terbuat dari besi Baja dan sepasang... Rel itu pasti ada dua besi panjang yang membentuknya dimana merupakan tempat roda-roda kereta berada... liat gambar di pojok atas yak klo masih lum nyambung....
Nah, masih berbicara rel ya kawan..
Ada 2 organisasi sentral di dunia kefarmasian kita yakni (koreksi klo salah ya) APTFI dan IAI. Secara singkat APTFI tu konsen ke proses pendidikan pra Apoteker (mahasiswa farmasi) tapi klo IAI tu organisasi profesi apoteker yang isinya mutlak para apoteker dan konsennya ke "pendidikan" Apoteker. Mahasiswa yang notabene dah lulus + disumpah akan dilepas oleh perguruan tinggi masing-masing untuk kemudian diterima oleh IAI. Nah, selanjutnya para Apoteker akan berkiprah dengan payung IAI.

Coba kita analogkan 2 organisasi besar tersebut dengan besi panjang yang membentuk rel tersebut dimana roda kereta api berada. Rel kereta tidak akan bisa dikatakan rel bila hanya ada satu besi panjang. Begitu pula dunia kefarmasian, mendapat pengaruh besar dari dua organisasi tersebut. Nah, masing-masing organisasi tersebut pun memiliki tugas diranahnya masing-masing dengan konsep dan keyakinan masing-masing. Sampe saat ini kedua besi Rel (baca:organisasi tersebut) tetap lah menjadi besi rel yang berada pada posisinya masing-masing dan selalu sejajar. Belum pernah ada kejadian rel-rel ini bersatu jadi 1 besi. Wah.. kayaknya klo bakal kejadian malah repot banget.. otomatis kereta (baca:dunia kefarmasian) jadi gak bisa jalan di atasnya. Nah, yang jadi masalah bagaimana kita menjaga agar kedua besi ini selalu sejajar agar bisa dilewati kereta? Siapakah yang harus berperan menjadi besi-besi kecil tempat dudukan 2 besi panjang ini?

Sebelum kita membayang-bayangkan jawaban untuk pertanyaan di atas.. ada baiknya penulis sampaikan apa yan menjadi pendapat penulis tentang kesejajaran antara IAI dan APTFI. Kita tau bahwa APTFI berasaskan ilmu, teknologi, dan profesi (lihat di aptfi.or.id), sedangkan bila kita lihat di visi misi IAI (lihat di www.ikatanapotekerindonesia.net) lebih menitikberatkan pada perwujudan apoteker yang profesional. Nah, klo kita bertanya apakah kedua organisasi ini bertentangan, maka tentu tidak jawabannya. Bisa kita katakan kedua organisasi ini sejalan namun tidak satu dan tidak bertemu pada satu titik. sehingga pantaslah kita ibaratkan mereka sebagai 2 besi panjang di rel kereta api.

APTFI dengan ketiga azaz tersebut berusaha untuk memberikan perhatian pada ketiga-tiganya. Namun, kita perlu ketahui sekalipun APTFI telah berusaha tentu pada akhirnya akan jatuh dan condong pada salah satu atau beberapa azaz tersebut, yang jelas suatu ke niscayaan bisa memberikan perhatian yang seimbang pada ketiganya. Penulis melihat dengan berapa telaah yang dilakukan ternyata dari ketiga azaz tersebut, APTFI lebih menitikberatkan pada ilmu sains dan teknologi yang dikembangkan. Hal ini sangat logis dengan alasan sebagai berikut.
1. Pada awalnya Pendidikan farmasi berada bawah induk ilmu sains (baca: MIPA) dengan drug oriented sebagai arah pendidikannya.
2. Komposisi proses pembelajaran 4+1 dimana porsi ilmu sains dan teknologi kefarmasian diberikan dengan porsi lebih besar selama 4 tahun dengan ditambah 1 tahun untuk pendidikan profesi. Selama proses 4 tahun pun sangatlah minim ditekankan pada proses penanaman profession character sebagai seorang apoteker. Yak, karena mainset APTFI masih memisahkan S1 dengan Program pendidikan Profesi Apoteker.

Dua alasan tersebut menjadikan APTFI tetap bertahan dengan konsep pendidikan farmasi 4+1 dimana porsi sains dan teknologi lebih banyak diberikan dengan alasan:
1. Peningkatan kompetensi apoteker di bidang sains dan industri.
2. APTFI tidak ingin apoteker kehilangan lahan garapan di bidang sains (baca: peneliti) dan industri. Karena menurut mereka lahan ini cukup besar.

Namun, apakah berbagai alasan APTFI tersebut benar-benar mampu memberikan sumbangsih yang diharapkan oleh masyarakat Indonesia dalam peningkatan kesehatan terutama dalam ketersediaan obat yang bermutu, aman, dan harga terjangkau? Apakah tidak disadari dengan pola pendidikan yang semacam ini, sebenarnya apoteker kehilangan jati diri sebagai apoteker karena mereka harus dipaksa bersaing dengan rekan-rekan Sarjana KIMIA, dan Teknik KIMIA yang mereka tanpa harus bersusah payah menyandang tanggung jawab besar sebagai Apoteker, toh mereka pun sangat bahkan jauh sangat dibutuhkan oleh dunia sains dan industri tanah air?

Nah, bagaimanakah dengan IAI sebagai "batang besi" yang selalu diharapkan sejajar dengan APTFI? IAI sesuai dengan visi mereka ingin menjadikan profesi apoteker ini paripurna dengan profesionalisme tinggi pada apoteker tentu menginginkan penanaman profession character sedini mungkin. IAI berusaha merekonstruksi dan menformat agar para apoteker mampu secara sadar untuk berpraktek profesional sebagai apoteker. Namun, apakah IAI akan mampu memproses ini semua padahal proses "pabrikasi" untuk menjadi apoteker selama masa pendidikan pra apoteker telah dihabiskan untuk memperbanyak porsi memikirkan masalah seputar sains dan teknologi dengan interaksi intens pada benda-benda lab yang jelas mereka (baca:alat-alat lab) adalah benda-benda mati?

Ada hal yang menarik yang harusnya tertanam pada siapapun yang menyandang gelar Apt yakni:

"bila masyarakat mendengar kata apoteker maka masyarakat ngertinya apoteker adalah orang yang tau tentang obat dan nama-namanya serta khasiatnya"

Yang terpenting sekarang bagi masyarakat adalah bagaimana apoteker dengan pelayanannya mampu memilihkan obat bagi mereka terhadap penyakit yang mereka derita, bukan bagaimana nasib dalam tubuh, atau bagaimana cara buat obat tersebut. Yap. bukankah ini pulalah sebagai tujuan dari patient oriented yang menjadi arah gerak apoteker saat ini? Namun, sekali lagi pertanyaan yang muncul apakah bekal "klinis" ini sudah cukup didapatkan selama pendidikan pra apoteker?

Kondisi ini, secara lantang IAI menjawab pada beberapa forum diskusi dengan

"kebhodolan skill caring terhadap pasien dimiliki oleh apoteker"

Banyak yang meng-amin kan bahwa skill caring ke pasien akan terisi dengan pengalaman paling tidak 10 tahun. Namun, apakah dalam periode "10 tahun mencari pengalaman" maka pasien akan dijadikan bahan uji coba sebagai mana kutipan salah seorang petinggi IAI sebagai berikut.

apoteker adl tenaga kesehatan yg langsung ketemu pasien,harus siap bgitu disumpah jd apoteker, gak ada istilah "trainable" emang nyawa pasien mau buat latihan....astaghfirullah...terlalu beresiko

Nah, dari pemikiran inilah IAI berusaha merekonstruksi dan mengkonsep arah pendidikan pra apoteker. Sebut saja dengan istilah 5+0. Mungkin klo penulis boleh berpendapat, konsep ini serupa tapi tak sama dengan sistem pendidikan rekan-rekan sejawat kita DOKTER. Konsep 5+0 ini memiliki dasar bahwa profession character building yang selama ini hanya ada di program pendidikan profesi yang waktunya hanya 1 tahun di dalamnya PKL 6 bulan (bahkan ada yang hnya 4 bulan), diintegrasikan pada sistem pembelajaran selama 5 tahun untuk menjadi seorang Apoteker.
"Layaknya mengajarkan sholat dimulai sejak umur 7 tahun (sedini mungkin)"

Nah, sudah mulai kebayangkan posisi dan keinginan dari masing-masing "besi" tersebut?
Ohya, penulis menggunakan perumpamaan "besi" karena masing-masing posisinya sama kuat dan keyakinan kedua organisasi tersebut terhadap dunia kefarmasian sangat kuat, sehingga suatu keniscayaan akan melebur jadi satu. Namun, justru harus kita sadari kita perlu kedua besi tersebut agar kereta "dunia kefarmasian" mampu berjalan dengan harmonis. Oleh karena itu, sudah menjadi suatu keharusan pada rel kereta api memiliki besi-besi kecil yang jumlahnya banyak sebagai dudukan sekaligus penghubung agar kedua besi panjang tersebut tetap sejajar, sehingga lokomotif dan gerbong-gerbong yang berjalan di atasnya dapat bergerak secara dinamis, aman dan teratur.

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi yang disesuaikan dengan telaah yang dilakukan penulis. Tulisan ini merupakan bagian pertama yang akan dilanjutkan dengan point pada mainset organisasi mahasiswa farmasi di seluruh perguruan tinggi indonesia.. selamat menantikan tulisan selanjutnya yaa

Read More......

Sabtu, 21 Agustus 2010

REKONSTRUKSI MAHASISWA FARMASI INDONESIA (part 2)

reorientasi kontrusksi apoteker pada mahasiswa farmasi

Coba kita lihat, saat ini banyak industri yang menghasilkan produk analgetik berbahan dasar paracetamol. Masing-masing memberikan brand pada produk yang dihasilkan. Tanpa disadari, bahwa keseluruhannya menggunakan bahan aktif paracetamol. Suatu keniscayaan bagi setiap produsen bisa menghasilkan obat bermutu dengan menggunakan paracetamol kualitas rendah. Kondisi ini tak ubahnya pada dunia apoteker. Berbagai program mulai dari TATAP hingga homecare, mulai dari drug oriented hingga patient oriented ingin diimplementasikan pada praktek kefarmasian ini dimana bahan dasar dari program-program tersebut adalah apoteker merupakan olahan dari Mahasiswa farmasi. Perlu ditekankan disini bahwa penulis bukan ingin menganalogkan bahwa apoteker dan mahasiswa sebagai manusia disamakan sifat dan fungsinya dengan paracetamol yang merupakan barang mati. Namun, penulis ingin menekankan bahwa selama ini rekonstruksi keprofesian baru sampai bagaimana memformulasikan apoteker sehingga menghasilkan apoteker yang bermutu, sebagaimana para produsen dengan berbagai formulasinya memformulasikan paracetamol untuk dijadikan obat analgetik yang bermutu. Ada hal lain yang luput bahwa bagaimana bisa mendapatkan paracetamol yang bermutu yang bila kita analogikan dalam hal ini bagaimana bisa mendapatkan apoteker yang bermutu dengan mahasiswa farmasi sebagai raw materials. Oleh karena itu, baik APTFI maupun IAI sudah seyogianya merubah ataupun paling tidak menambahkan orientasi konstruksi profesi apoteker dengan bagaimana mendesign formulasi yang baik bagi mahasiswa farmasi untuk mendapatkan kompetensi yang menjadikan mereka siap atau paling tidak memiliki profession character.

Profession character building merupakan karakter dasar yang harus dimiliki oleh setiap apoteker dan hal ini merupakan prinsip dan konsep dalam berpraktek keprofesian apoteker. Pembentukan karakter dasar ini tentunya akan terasa sangat sulit dilakukan setelah mahasiswa farmasi menjelma menjadi apoteker (kenapa penulis menggunakan kata menjelma karena untuk saat ini penulis melihat waktu yang ditempuh di kuliah profesi hanya mampu menciptakan penjelmaan mahasiswa farmasi menjadi apoteker dalam artian belum bisa menjadikan apoteker sungguhan hanya sebatas penjelmaan-penjelmaan.), karena pembentukan hal-hal dasar dilakukan pada tahapan dasar pula sehingga akan terpola suatu kebiasaan sejak dini. Layaknya shalat diajarkan pada seorang anak sedini mungkin, namun tidak menutup kemungkinan orang dewasa baru belajar shalat tetapi tentunya lebih sulit daripada mendidik pada waktu kanak-kanak. Oleh karena itu, perlu diupayakan langkah-langkah strategis dalam Profession character building pada mahasiswa farmasi dengan kerjasama antara organisasi mahasiswa dan organisasi profesi serta dukungan APTFI dan pemerintah. (BERSAMBUNG)

Read More......

REKONSTRUKSI MAHASISWA FARMASI INDONESIA

Sebuah revolusi peran "masyarakat" mahasiswa demi menjawab tantangan profesi apoteker ke depan

oleh:

Anugerah B. Adina

(Part 1)

Suatu hal yang mungkin hingga saat ini tak akan pernah habis bila kita berbicara, berdiskusi, dan bahkan berseminar seputar keprofesian apoteker. Mulai dari forum-forum kecil yang dibuka antar kelompok kecil apoteker-apoteker di sela-sela makan siang mereka, beranjak pada forum diskusi dengan berbagai media termasuk internet (baca: facebook & milist) yang banyak digandrungi tak hanya para apoteker muda, tetapi hingga kaum sepuh sekalipun, dan bahkan hingga berbagai acara diskusi, seminar, dan talkshow diadakan untuk menjawab berbagai permasalahan dunia keprofesian apoteker. Namun, sekali lagi tidak jarang notulensi diskusi tersebut baru sampai pada tataran pewacanaan dengan jarang sekali yang berujung pada solusi strategis. Oleh karena itu, tetap perlu peran berbagai pihak mulai dari mahasiswa sebagai raw materials, PT (perguruan tinggi) sebagai plant-nya, APTFI (Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia) sebagai designer, hingga IAI (Ikatan Apoteker Indonesia) dan Pemerintah Indonesia sebagai perwakilan dari masyarakat sebagai QA (quality assurance).

Berbagai pihak tersebut tentunya harus bergerak sesuai SOP-nya untuk mampu mengolah mahasiswa sebagai raw materials. Final kompetensi yang terintegrasi dengan SOP sudah selayaknya dipahami secara baik dengan adanya keterikatan antara pihak yang satu dengan yang lainnya. Namun, apakah semua sudah mampu berjalan dengan baik sesuai prosedur? Hal ini bisa dilihat sebagai pertanyataan retoris yang bila kita kaitkan dengan kenyataan dunia keprofesian kita pada khususnya dan kesehatan masyarakat Indonesia pada umumnya. Bahkan, berbagai tindakan evaluasi secara parsial yang nampaknya masing-masing pihak berusaha berbenah belum memberikan hasil yang “menyejukkan” hati dan pikiran.

Cukup menarik memang bila melihat proses evaluasi dari masing-masing pihak (sebut saja, dengan tanpa mengurangi rasa hormat, APTFI, IAI, dan bahkan pemerintah Indonesia) menyikapi persoalan keprofesian ini. Ditambah baru-baru ini kembali diwacanakan sebuah profession character building yang merupakan permasalahan klasik sejak dikumandangkannya patient oriented yang mengubah orientasi apoteker dari masa-masa drug oriented. Masing-masing pihak mengangkat isu ini (baca: profession character building ) dengan harapan bisa menjadi solusi praktek kefarmasian apoteker. Namun, sekali lagi sudah sampai sejauh apakah kesesuaian target pencapaian dari usaha-usaha tersebut? Berangkat dari usaha itu semua, tulisan ini bukanlah bermaksud melakukan kritik karena penulis yakin bahwa masing-masing pihak yakin atas kebenaran usaha yang telah ataupun sedang dilakukan, tetapi kita mencoba menganalisis dari sudut yang berbeda dengan fokus pada proses pengolahan raw materials (baca: mahasiswa).

Mahasiswa farmasi merupakan input yang sangat penting dalam dunia keprofesian apoteker. Disadari atau tidak, mahasiswa dengan masa belajar 4 +1 tahun, untuk kemudian terjun di duni keprofesian apoteker, menjadi tonggak kemajuan praktek kefarmasian di masa berikutnya, masa dimana mahasiswa-mahasiswa tersebut telah menjelma menjadi apoteker-apoteker yang siap melakukan praktek kefarmasian sebagaimana yang diamanatkan dalam UU no 36 tentang kesehatan dan PP 51 tentang praktek kefarmasian. Namun, cukup disayangkan, komunitas yang bernama mahasiswa ini jarang mendapat perhatian khusus dan bahkan bisa penulis katakan sebagai ladang ujicoba berbagai proses pembelajaran yang sudah seyogiyanya ditentukan dari kompetensi seperti apakah yang diinginkan.

Kita sebagai apoteker tidak bisa memungkiri bahwa berbagai kompetensi baik itu yang berbasis sains maupun klinis dengan berbagai turunan materinya harus dikuasai.

Hal ini menjadi tantangan yang sekaligus sebagai ancaman bagi kualitas dan kuantitas penguasaan ilmu tersebut sehingga berujung pada sedalam apa kompetensi yang dimiliki oleh seorang apoteker. Kondisi yang bisa dikatakan sebagai multidisiplin pembelajaran farmasi harus mendapat perhatian yang serius baik dari APTFI sebagai designer dari proses pembelajaran itu sendiri ataupun IAI sebagai stakeholder yang akan menggunakan “buah karya” rekan-rekan APTFI (karena APTFI sebagai designer-nya). Patut dicermati bahwa APTFI dan IAI harus mampu bekerja sama dalam men-design system pembelajaran bagi mahasiswa.

Namun, cukup disayangkan adanya adegan saling lempar tanggung jawab antara APTFI dan IAI. Berdasar pada beberapa kasus diskusi terbuka, (tanpa mengurangi rasa hormat) penulis harus mengatakan bahwa ada kecendrungan saling menyalahkan antara dua organisasi tersebut terhadap keterpurukan profesi apoteker saat ini. IAI mengatakan bahwa APTFI harusnya bertanggung jawab dalam proses pembekalan kompetensi, namun sebaliknya APTFI melontarkan bahwa IAI sudah sepatutunya pun memiliki desain untuk mengelola para apoteker. Berlepas dari adegan-adegan “panas” tersebut. Kita dengan pikiran dan hati yang jernih harus segera memikirkan langkah strategis tanpa harus menyalahkan dan membenarkan salah satu pihak.

(bersambung)

Read More......