Welcome home....

Assalamualaikum wr.wb
Rekan-rekan pembaca..selamat menikmati suguhan yang insyaallah bermanfaat dunia wal akherat...

"Pembaca yang baik meninggalkan komentar-komentar yang bermutu."

Sabtu, 21 Agustus 2010

REKONSTRUKSI MAHASISWA FARMASI INDONESIA

Sebuah revolusi peran "masyarakat" mahasiswa demi menjawab tantangan profesi apoteker ke depan

oleh:

Anugerah B. Adina

(Part 1)

Suatu hal yang mungkin hingga saat ini tak akan pernah habis bila kita berbicara, berdiskusi, dan bahkan berseminar seputar keprofesian apoteker. Mulai dari forum-forum kecil yang dibuka antar kelompok kecil apoteker-apoteker di sela-sela makan siang mereka, beranjak pada forum diskusi dengan berbagai media termasuk internet (baca: facebook & milist) yang banyak digandrungi tak hanya para apoteker muda, tetapi hingga kaum sepuh sekalipun, dan bahkan hingga berbagai acara diskusi, seminar, dan talkshow diadakan untuk menjawab berbagai permasalahan dunia keprofesian apoteker. Namun, sekali lagi tidak jarang notulensi diskusi tersebut baru sampai pada tataran pewacanaan dengan jarang sekali yang berujung pada solusi strategis. Oleh karena itu, tetap perlu peran berbagai pihak mulai dari mahasiswa sebagai raw materials, PT (perguruan tinggi) sebagai plant-nya, APTFI (Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia) sebagai designer, hingga IAI (Ikatan Apoteker Indonesia) dan Pemerintah Indonesia sebagai perwakilan dari masyarakat sebagai QA (quality assurance).

Berbagai pihak tersebut tentunya harus bergerak sesuai SOP-nya untuk mampu mengolah mahasiswa sebagai raw materials. Final kompetensi yang terintegrasi dengan SOP sudah selayaknya dipahami secara baik dengan adanya keterikatan antara pihak yang satu dengan yang lainnya. Namun, apakah semua sudah mampu berjalan dengan baik sesuai prosedur? Hal ini bisa dilihat sebagai pertanyataan retoris yang bila kita kaitkan dengan kenyataan dunia keprofesian kita pada khususnya dan kesehatan masyarakat Indonesia pada umumnya. Bahkan, berbagai tindakan evaluasi secara parsial yang nampaknya masing-masing pihak berusaha berbenah belum memberikan hasil yang “menyejukkan” hati dan pikiran.

Cukup menarik memang bila melihat proses evaluasi dari masing-masing pihak (sebut saja, dengan tanpa mengurangi rasa hormat, APTFI, IAI, dan bahkan pemerintah Indonesia) menyikapi persoalan keprofesian ini. Ditambah baru-baru ini kembali diwacanakan sebuah profession character building yang merupakan permasalahan klasik sejak dikumandangkannya patient oriented yang mengubah orientasi apoteker dari masa-masa drug oriented. Masing-masing pihak mengangkat isu ini (baca: profession character building ) dengan harapan bisa menjadi solusi praktek kefarmasian apoteker. Namun, sekali lagi sudah sampai sejauh apakah kesesuaian target pencapaian dari usaha-usaha tersebut? Berangkat dari usaha itu semua, tulisan ini bukanlah bermaksud melakukan kritik karena penulis yakin bahwa masing-masing pihak yakin atas kebenaran usaha yang telah ataupun sedang dilakukan, tetapi kita mencoba menganalisis dari sudut yang berbeda dengan fokus pada proses pengolahan raw materials (baca: mahasiswa).

Mahasiswa farmasi merupakan input yang sangat penting dalam dunia keprofesian apoteker. Disadari atau tidak, mahasiswa dengan masa belajar 4 +1 tahun, untuk kemudian terjun di duni keprofesian apoteker, menjadi tonggak kemajuan praktek kefarmasian di masa berikutnya, masa dimana mahasiswa-mahasiswa tersebut telah menjelma menjadi apoteker-apoteker yang siap melakukan praktek kefarmasian sebagaimana yang diamanatkan dalam UU no 36 tentang kesehatan dan PP 51 tentang praktek kefarmasian. Namun, cukup disayangkan, komunitas yang bernama mahasiswa ini jarang mendapat perhatian khusus dan bahkan bisa penulis katakan sebagai ladang ujicoba berbagai proses pembelajaran yang sudah seyogiyanya ditentukan dari kompetensi seperti apakah yang diinginkan.

Kita sebagai apoteker tidak bisa memungkiri bahwa berbagai kompetensi baik itu yang berbasis sains maupun klinis dengan berbagai turunan materinya harus dikuasai.

Hal ini menjadi tantangan yang sekaligus sebagai ancaman bagi kualitas dan kuantitas penguasaan ilmu tersebut sehingga berujung pada sedalam apa kompetensi yang dimiliki oleh seorang apoteker. Kondisi yang bisa dikatakan sebagai multidisiplin pembelajaran farmasi harus mendapat perhatian yang serius baik dari APTFI sebagai designer dari proses pembelajaran itu sendiri ataupun IAI sebagai stakeholder yang akan menggunakan “buah karya” rekan-rekan APTFI (karena APTFI sebagai designer-nya). Patut dicermati bahwa APTFI dan IAI harus mampu bekerja sama dalam men-design system pembelajaran bagi mahasiswa.

Namun, cukup disayangkan adanya adegan saling lempar tanggung jawab antara APTFI dan IAI. Berdasar pada beberapa kasus diskusi terbuka, (tanpa mengurangi rasa hormat) penulis harus mengatakan bahwa ada kecendrungan saling menyalahkan antara dua organisasi tersebut terhadap keterpurukan profesi apoteker saat ini. IAI mengatakan bahwa APTFI harusnya bertanggung jawab dalam proses pembekalan kompetensi, namun sebaliknya APTFI melontarkan bahwa IAI sudah sepatutunya pun memiliki desain untuk mengelola para apoteker. Berlepas dari adegan-adegan “panas” tersebut. Kita dengan pikiran dan hati yang jernih harus segera memikirkan langkah strategis tanpa harus menyalahkan dan membenarkan salah satu pihak.

(bersambung)

1 komentar: