Assalamualaikum, semoga kawan-kawan selalu dalam lindungan Alloh azzawajalla dan sehat wal afiat. Inget yaa, sehat itu nikmat juga lho. Bayangin, klo sakit, berapa biaya yang harus kita keluarkan untuk berobat?
........"enggak koq, gratis, lha wong saya memetik daun tanaman di halaman rumah, direbus, lalu diminum. Alhamdulillah sembuh juga."
Yak, sedikit ilustrasi di atas memberikan gambaran umum tentang jamu.
Tulisan ini sebenarnya melanjutkan dari tulisan saya di blog FARMANESIA.
Kadang kita bertanya, mungkin gak siy jamu disejajarkan dengan obat atau pengobatan konvensional? Mungkin banyak yang optimis akan hal itu, namun berbanding lulus dengan mereka yang pesimis. Namun, sebelumnya saya akan mencoba mengangkat beberapa definisi terkait jamu, obat tradisional, obat, dan pengobatan konvensional.
Bila kita membuka lembaran konstitusi yang ada di Negara Indonesia, let's say UU no 23 tahun 1992 tentang kesehatan, maka definisi yang bisa kita temukan adalah hanya obat tradisional, yakni dalam pasal 1 ayat 10 berbunyi
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau
campuran dari bahan tersebut yang secara turun-temurun telah
digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau
campuran dari bahan tersebut yang secara turun-temurun telah
digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
Definisi ini agak sedikit disempurnakan dalam UU no 36 tahun 2009 tenang kesehatan, yang berbunyi
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Sedangkan, kata obat ada pada ayat sebelumnya dipasal yang sama dan termasuk dalam sediaan farmasi. Lalu dimana definisi obat?
Mencoba "mengubek-ngubek" file di mbah google, akhirnya saya temukan bahwa defnisi obat pernah ada di Kep. MenKes RI No. 193/Kab/B.VII/71. Wow, ternyata definisi obat udah ada sejak tahun 71 dikonstitusi kita. Baik, mari kita simak definisi tersebut.
Obat ialah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam
menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau
gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk
memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia
dan masih banyak lagi definisi obat, seperti yang tercantum dalam situs resmi salah satu industri farmasi di Indonesia, sebagaimana berikut
obat adalah bahan atau campuran bahan yang digunakan pengobatan, peredaan, pencegahan atau diagnosa suatu penyakit,
kelainan fisik atau gejala-gejalanya pada manusia atau hewan; atau
dalam pemulihan, perbaikan atau pengubahan fungsi organik pada manusia
atau hewan.
Jamu adalah obat tradisional Indonesia.
Dalam permenkes ini pun ada definisi obat tradisional yang sepertinya merujuk pada UU no 36 tahun 2009 tentang kesehatan.
Bagaimana dengan pengobatan konvensional? Maaf, secara definisi, saya belum menemukan. Mohon jika ada dari rekan-rekan yang punya sumbernya untuk bersedia memberi tambahan di komentar tulisan ini. Namun, mari kita pahami bersama dari apa yang tercantum dalam situs resmi depkes, bahwa
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan definisi pengobatan
komplementer tradisional – alternatif adalah pengobatan non konvensional
yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat meliputi
upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang diperoleh
melalui pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan dan efektifitas
yang tinggi berlandaskan ilmu pengetahuan biomedik tapi belum diterima
dalam kedokteran konvensional.
Kalau saya boleh mencermati, bahwa pengobatan konvensional berhubungan erat dengan obat seperti yang sudah saya paparkan definisinya.
Ada perbedaan mendasar antara jamu dan obat. Pada jamu, klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris, sedangkan obat dibuktikan berdasarkan uji klinik. Ada kisah menarik yang saya alami langsung terkait hal ini.
Saya pernah mengikuti kuliah umum seorang profesor School of Pharmacy USM (universiti sains malaysia). Presentasi beliau tentang produk yang beliau kembangkan berupa….*maaf lupa nama produknya…*. Inti dari produk beliau adalah minyak dari ikan gabus dibuat sediaan spray yang akan membentuk film bila disemprotkan di atas luka. Efek produk ini adalah mempercepat recovery luka, terutama pada penderita diabetes. Produk ini telah teregister di BPOM-nya Malaysia. Beliau pun sedang membangun pabrik yang pastinya akan membutuhkan berkilo-kilo ato bahkan ton ikan gabus.Hmm, intinya saya di sini bukan mau cerita kehebatan produk, terlepas dari itu semua. Lalu, ada salah seorang bertanya, sebagai berikut.
audience: “Pak, koq gak diisolasi aja senyawa yang berefek dari kulit ikan gabus tersebut, sehingga gak usah capek-capek pake acara berternak ikan gabus.”
Prof: “Wah, saya juga sempet kepikir, bahkan sudah dilakukan riset untuk mengidentifikasi senyawa apa yang paling berpengaruh dan sebenarnya mudah untuk melakukan isolasi. Namun, masalahnya kalo pake pure compound (senyawa terisolasi), maka produk ini gak tergolong obat tradisional lagi (jamu), tapi jadinya obat dan seperti yang kita tau, klo obat ribet dalam hal uji klinik (biaya mahal) dan registrasi. So, saya tetap mengekstrak minyak dari kulit ikan gabus dengan bahan dasar ikan gabus sehingga masih tergolong obat tradisional.
NB: percakapan sebenarnya menggunakan bahasa inggris, tapi demi
kelancaran saya artikan ke bahasa indonesia dengan penyesuaian sepenuhnya.
Pemerintah mencoba dengan "menelurkan" PERMENKES NO: 003/MENKES/PER/I/2010 tentang saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Nampaknya pemerintah sangat "pintar" dalam hal konstitusi. Mengapa demikian? silahkan merujuk pada tulisan PERMENKES SAINTIFIKASI JAMU: Dimana peran apoteker?
Namun, terlepas dari segala bentuk kekurangan permenkes tersebut, mari kita lihat dan cermati apa yang dikehendaki oleh permenkes tersebut, seperti yang tertulis dalam pasal 2 permenkes tersebut.
Tujuan pengaturan saintifikasi jamu adalah:
- Memberikan landasan ilmiah (evidence based ) penggunaan jamu secara empiris melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan.
- Mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif, promotif, rehabilitatif dan paliatif melalui penggunaan jamu.
- Meningkatkan kegiatan penelitian kualitatif terhadap pasien dengan penggunaan jamu.
- Meningkatkan penyediaan jamu yang aman, memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam fasilitas pelayanan kesehatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar